Pergantian Kajati Sulsel Dinilai Jadi Momentum Koreksi Penanganan Korupsi ART DPRD Tana Toraja
- account_circle Sorotan Rakyat
- calendar_month Sel, 14 Okt 2025
- visibility 65
- comment 0 komentar

Makassar – Pergantian pucuk pimpinan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) membuka kembali sorotan terhadap lambatnya penanganan perkara dugaan korupsi Anggaran Rumah Tangga (ART) pimpinan DPRD Tana Toraja. Kajati Agus Salim resmi dimutasi dan digantikan oleh Dr. Didik Farkhan Alisyahdi. Posisi Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) juga turut bergeser.
Dalam dua tahun terakhir, perkara ini mandek pada tahap penyelidikan meski puluhan saksi telah diperiksa dan dokumen APBD telah diserahkan. Perubahan struktur pimpinan diharapkan tidak sekadar seremonial, tetapi membawa koreksi pada kultur kerja penegakan hukum.
Ketua Badan Pekerja Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun, menilai pergantian pimpinan harus dijadikan momentum mempercepat proses hukum, bukan melanjutkan pola penundaan.
“Pergantian pucuk pimpinan di Kejati Sulsel seharusnya menjadi momentum korektif, bukan sekadar rotasi struktural. Kasus dugaan korupsi ART DPRD Tana Toraja ini terlalu lama diparkir pada tahap penyelidikan tanpa kejelasan arah. Padahal, puluhan saksi sudah diperiksa, data APBD telah diserahkan, dan kerangka dugaan penyimpangan anggaran rumah jabatan DPRD begitu terang,” ujar Kadir dimintai tanggapannya via telepon, Selasa (14/10/2025).
Ia menilai pemeriksaan maraton terhadap saksi seharusnya menjadi pijakan untuk melangkah ke tahap penyidikan, apalagi indikasi penyalahgunaan anggaran mengemuka bertahun-tahun.
“Jika dalam pemeriksaan maraton telah ditemukan fakta penggunaan anggaran rumah jabatan yang tidak ditempati, dengan pembiayaan konsumsi, listrik, dan pemeliharaan yang terus berjalan selama bertahun-tahun, maka sudah waktunya penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan,” katanya.
Kadir meminta agar kepemimpinan baru di Pidsus ke depannya juga tidak mengulang “kultur penundaan” pada masa pejabat sebelumnya.
“Unsur penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor patut diuji secara terbuka di penyidikan, bukan ditahan di meja telaah internal. Jangan sampai publik melihat pergantian pimpinan hanya menjadi ‘strategi pendinginan kasus’,” tegasnya.
Ia juga menolak jika pengembalian kerugian negara dijadikan alasan penghentian perkara.
“Dalam hukum tipikor, pengembalian kerugian hanyalah faktor yang meringankan, bukan penghapus pidana. Kasus ini menyangkut uang rakyat dan akuntabilitas lembaga legislatif, bukan sekadar kekeliruan administrasi,” ujarnya.
Menurut dia, indikator perubahan di era Kajati baru hanya bisa diukur lewat eskalasi penanganan perkara.
“Kalau Kejati Sulsel ingin memulihkan kepercayaan publik, maka penanganan perkara ini harus menampilkan keberanian menaikkan status, transparansi proses, serta jaminan tidak ada pihak yang dilindungi. Era pimpinan baru harus dibuktikan lewat tindakan hukum, bukan pernyataan seremonial,” ujar Kadir.
Duduk Perkara: Anggaran Rumah Jabatan Tak Ditempati, Konsumsi dan Pemeliharaan Tetap Jalan
Perkara dugaan korupsi ART DPRD Tana Toraja mencuat setelah gerakan unjuk rasa Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Mafia Hukum pada 19 Agustus 2024 di Kantor Kejati Sulsel. Massa menyoroti penggunaan anggaran rumah jabatan pimpinan DPRD sejak 2017 hingga 2024 yang diduga tidak ditempati, tetapi tetap menghabiskan anggaran konsumsi, listrik, air, dan pemeliharaan.
Koordinator aksi, Issank, menyebut dana konsumsi diduga mencapai Rp25 juta per bulan, sedangkan listrik dan air sekitar Rp10 juta per bulan. Ada pula klaim pemeliharaan rumah jabatan yang dikucurkan hingga Rp152 juta per tahun.
“Ini sangat janggal karena rumah tersebut tidak dihuni sama sekali, tapi anggarannya tetap jalan terus setiap tahun,” kata Issank dalam orasi.
Laporan resmi diserahkan disertai dokumen APBD dan dasar hukum terkait. Mahasiswa juga menolak penyelesaian melalui pengembalian anggaran.
“Kalau korupsi cukup diselesaikan dengan mengembalikan uang, maka kita sedang mempermainkan hukum. Penindakan harus tetap berjalan,” ujar mereka.
Pihak Kejati Sulsel sebelumnya memastikan penyelidikan berlangsung. Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Soetarmi menyebut lebih dari puluhan saksi telah diperiksa.
“Setiap data dan keterangan harus dikroscek secara objektif. Kami tidak ingin gegabah dalam menyimpulkan suatu perkara,” kata Soetarmi, Juli 2025 lalu.
Menurut dia, perkara ini masuk dalam rangkaian penyelidikan ART DPRD se-Sulsel. Namun belum ada keputusan peningkatan status ke tahap penyidikan.
Dengan hadirnya kepemimpinan baru di Kejati Sulsel dan Pidsus, publik kini menanti apakah perkara ini dilanjutkan ke tahap yang lebih progresif atau kembali tersendat di meja telaah internal.
- Penulis: Sorotan Rakyat

Saat ini belum ada komentar