Akademisi UKIP Soroti Dugaan Penyimpangan Prosedur Sewa Lahan PT IHIP di Luwu Timur
- account_circle Sorotan Rakyat
- calendar_month Ming, 12 Okt 2025
- visibility 83
- comment 0 komentar

Makassar – Akademisi Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina, menilai kebijakan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur yang menyewakan lahan kepada PT Indonesia Huali Industry Park (IHIP) berpotensi melanggar hukum jika tidak melalui mekanisme pengelolaan aset daerah yang diatur dalam regulasi.
Menurut Jermias Rarsina, penyewaan atas lahan yang diklaim sebagai milik daerah wajib tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang telah diubah melalui PP Nomor 28 Tahun 2020. Ia menyebut potensi pelanggaran bisa muncul sejak tahap penetapan status tanah.
“Jika lahan itu merupakan Barang Milik Daerah, maka seluruh proses pemanfaatannya, termasuk penyewaan, tidak bisa dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah. Kalau tahapan itu dilewati, maka keputusan sewa dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum administrasi,” ujar Jermias Rarsina.
Ia merinci lima aspek hukum yang harus dipenuhi pemerintah daerah sebelum menetapkan sewa: kejelasan status aset, pelibatan DPRD, penilaian independen oleh lembaga appraisal, penetapan jangka waktu dan mekanisme sesuai aturan teknis, serta penyetoran hasil sewa ke kas daerah secara tercatat.
“Semua itu bukan pilihan, tapi keharusan hukum yang bersifat regulatif. Kalau sebagian saja diabaikan, maka kebijakan sewa itu sudah patut dipertanyakan legalitasnya,” kata Jermias Rarsina.
Ia juga menyoroti pernyataan anggota DPRD yang mengaku tidak mengetahui adanya perjanjian sewa lahan tersebut. Menurutnya, ketiadaan pelibatan legislatif bisa menjadi indikasi awal adanya dugaan pelanggaran kewenangan.
“Kalau DPRD tidak tahu dan tidak dilibatkan, itu alarm pertama. Apalagi jika nilai sewanya tidak didasarkan pada penilaian appraisal resmi,” ucapnya.
Jermias Rarsina menyebut potensi persoalan hukum tidak hanya berhenti pada ranah administrasi. Jika penyewaan aset daerah dilakukan tanpa dasar hukum yang lengkap, serta menimbulkan kerugian negara secara ekonomi atau finansial, maka kasus itu dapat masuk ke wilayah pidana, termasuk korupsi.
“Kalau ditemukan penyalahgunaan kewenangan, penyimpangan nilai sewa, atau transaksi tidak transparan, maka aparat penegak hukum punya ruang untuk melakukan penyelidikan awal. Unsur tipikor bisa muncul jika ada kerugian keuangan daerah,” tuturnya.
Menurut Jermias Rarsina, klarifikasi dari pemerintah daerah menjadi penting agar tidak terjadi simpang siur penilaian publik. Namun ia menegaskan bahwa pembukaan dokumen dan proses administratif adalah bagian dari akuntabilitas yang bisa ditelusuri aparat hukum.
“Ini soal governance aset. Kalau prosedur dilanggar, konsekuensi hukumnya jelas. Penyelidikan bisa dilakukan tanpa harus menunggu laporan resmi jika indikatornya sudah terlihat,” ujar Jermias Rarsina.
Warga dan Datu Luwu Pertanyakan Dugaan Kejanggalan Sewa Lahan PT IHIP di Luwu Timur
Kesepakatan sewa lahan antara Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan PT Indonesia Huali Industry Park (IHIP) menuai sorotan dari warga, tokoh adat, dan kalangan legislatif. Nilai sewa yang dianggap terlalu rendah dan dugaan tidak adanya pelibatan masyarakat menjadi sumber kritik utama.
Datu Luwu ke-40, Andi Maradang Mackulau, menyatakan bahwa Kedatuan Luwu tidak akan tinggal diam jika kebijakan investasi berdampak pada kerugian masyarakat lokal. Ia menerima langsung aspirasi warga Lampia yang mempertanyakan dasar penetapan harga dan mekanisme penyewaan lahan.
“Kami berterima kasih kepada investor, tapi jangan sekali-kali menyengsarakan rakyat saya. Kalau rakyat dizalimi, kami akan berdiri bersama mereka,” ujar Andi Maradang Mackulau dalam pertemuan dengan warga di Desa Harapan, Jumat, 10 Oktober 2025.
Sorotan muncul setelah terungkap bahwa lahan seluas 394,5 hektare disewa dengan nilai Rp4,45 miliar untuk lima tahun, atau sekitar Rp889 juta per tahun. Jika dihitung per meter persegi, nilainya hanya sekitar Rp226. Warga membandingkan angka itu dengan tarif sewa lahan 25 x 25 meter untuk menara telekomunikasi yang mencapai Rp4 juta per tahun, atau sekitar Rp6.400 per meter persegi.
“Kalau melihat perbandingannya, sangat jomplang. Kami mensinyalir ada kejanggalan dalam MoU itu,” kata Zakkir Mallakani, pemuda Desa Harapan.
Sejumlah warga juga mengaku tidak pernah dilibatkan atau diajak bermusyawarah sebelum penandatanganan kerja sama. Mereka menilai keputusan diambil sepihak dan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi lahan.
“Tanah itu disewakan tanpa melibatkan kami, dan harganya sangat murah,” ujar seorang warga dalam dialog dengan tokoh adat. Kritik muncul tidak hanya soal nilai, tetapi juga transparansi pengelolaan serta pembagian manfaat.
Dari sisi politik daerah, beberapa anggota DPRD mengaku tidak dilibatkan dalam pembahasan maupun penetapan harga sewa. Seorang legislator menyebut tidak pernah mengetahui adanya pembicaraan resmi terkait kerja sama lahan itu. “Kami tidak pernah diajak bicara soal itu,” ujarnya singkat.
Warga Desa Harapan juga meminta agar pemerintah daerah membuka dokumen penyerahan lahan kompensasi dari PT Vale sebelum dialihkan ke PT IHIP. Mereka mendesak agar alur pemanfaatan aset dijelaskan secara terbuka.
“Harus ada penjelasan mulai dari keberadaan lahan kompensasi, penyerahan dari Vale ke pemda, hingga tarif sewanya,” kata Ibrahim, salah satu warga.
Andi Maradang Mackulau meminta agar sikap Kedatuan Luwu disampaikan langsung kepada bupati, gubernur, dan pemerintah pusat. Ia menilai aspirasi warga tidak bisa diabaikan dalam kebijakan yang menyangkut tanah dan kepentingan publik.
Hingga kini, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur belum memberikan keterangan resmi atas desakan klarifikasi dan perbandingan nilai sewa yang dianggap tidak wajar oleh warga dan tokoh adat.
- Penulis: Sorotan Rakyat

Saat ini belum ada komentar