SPDP Dikembalikan, Kuasa Hukum Nilai Penyidik Polda Sulsel Tak Profesional Tangani Perkara TPPU
- account_circle Sorotan Rakyat
- calendar_month Kam, 4 Des 2025
- visibility 16
- comment 0 komentar

Makassar — Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengambil langkah tegas dengan mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas nama tersangka Sulfikar dan Hamsul HS. Langkah ini diambil setelah penyidik tak kunjung memenuhi petunjuk jaksa dalam proses P-18, P-19, hingga melewati batas waktu penyidikan tambahan (P-20) sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, mengatakan jaksa peneliti telah melayangkan surat kepada penyidik pada 11 November 2025 yang menegaskan lewatnya batas waktu 14 hari sejak diterbitkannya P-20. Namun sampai batas akhir, penyidik tidak menyampaikan hasil penyidikan tambahan sebagaimana diminta.
“Demi tertib administrasi penanganan perkara, Jaksa Peneliti mengembalikan SPDP Nomor B/SPDP/37.b/X/RES.1.24/2025/Krimum tanggal 7 Oktober 2025 atas nama tersangka Sulfikar dan Hamsul HS, SE,” kata Soetarmi saat dikonfirmasi di Kantor Kejati Sulsel Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu 3 Desember 2025.
Pengembalian SPDP ini memperkuat sikap Kejaksaan yang sejak awal meminta penyidik memenuhi petunjuk secara menyeluruh. Sebelumnya, pada 28 Oktober 2025, Kejati Sulsel sudah lebih dulu mengembalikan berkas perkara melalui P-19 berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, setelah menemukan unsur materiil dan formil yang belum terpenuhi terutama terkait penelusuran aliran dana dan pelacakan aset secara komprehensif yang menjadi standar pembuktian dalam perkara pencucian uang.
Sebelumnya, Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sulsel mengakui dua petunjuk penting dalam P-19 masih belum dilengkapi. Kanit III Renakta, AKP Syamsir, menyebut kedua petunjuk itu berada dalam tahap akhir namun tenggat 14 hari dalam register dianggapnya bersifat administratif.
Petunjuk pertama menyangkut permintaan data tambahan dari Bank BCA atas tiga rekening koran yang diduga menjadi alur transaksi hasil kejahatan. Satu saksi internal bank sudah diperiksa, namun kelengkapan data dari bank belum diterima penyidik.
Petunjuk kedua berkaitan dengan pemeriksaan saksi di Malang, pemilik aset yang telah disita penyidik. Hingga kini saksi belum memberikan konfirmasi.
Penyidik juga merespons informasi pelapor mengenai dugaan keberadaan dana Rp52 miliar, namun menyatakan belum ada temuan yang mengarah ke jumlah tersebut.
“Karena dari inkuiri PPATK tidak ditemukan dana sebesar itu,” ujar Syamsir sebelumnya.
Ia menegaskan nilai kerugian korban berada di angka Rp5,9 miliar, hasil transfer ke rekening Sulfikar dan Hamsul sepanjang 2020–2021. PPATK telah mengonfirmasi aliran dana tersebut. Penyidik juga menyita satu rumah di Malang dan satu unit mobil yang diduga terkait tindak pidana, serta meminta klarifikasi perusahaan kripto yang disebut dalam laporan.
“Transaksi pembelian aset digital tidak menimbulkan persoalan hukum,” kata Syamsir sebelumnya.
Menanggapi hal tersebut, Kuasa hukum korban, Tri Ariadi Rahmat, menilai pengembalian SPDP memperlihatkan persoalan serius dalam penanganan perkara. Ia menyebut penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel tidak menunjukkan profesionalitas karena berulang kali gagal memenuhi petunjuk jaksa.
“Kalau SPDP dikembalikan karena penyidikan tambahan tak dikerjakan dalam batas waktu, ada yang tidak berjalan semestinya. Jaksa memberi petunjuk dan tenggat, tetapi tidak dipenuhi,” ujar Tri saat dimintai tanggapan, Rabu malam 3 Desember 2025.
Menurut Tri, pengembalian SPDP bukan sekadar urusan administrasi melainkan indikator kelalaian penyidikan.
“Penyidikan TPPU sangat ketat dan berbatas waktu. Tidak dipenuhinya standar itu menggerus kepercayaan publik,” katanya.
Tri mengatakan pernyataan Kasi Penkum Kejati Sulsel mempertegas kekhawatiran korban bahwa penyidikan berjalan tidak efektif. Petunjuk yang belum dilengkapi, menurut dia, seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu wajar.
“Petunjuk itu konkret, tidak rumit. Faktanya tidak dikerjakan sampai SPDP dikembalikan. Itu bukan cerminan profesionalitas,” ujarnya.
Ia menilai mandeknya penyidikan berpotensi melemahkan pembuktian TPPU.
“Ini sudah memasuki tahun keempat sejak laporan dibuat. Jika penyidikan tersendat karena kelalaian, bukan hanya korban yang dirugikan, tetapi juga sistem penegakan hukum.”
Tri mendesak Polda Sulsel melakukan evaluasi internal terhadap tim penyidik Renakta.
“Kami meminta Kapolda dan Dirreskrimum memberi perhatian penuh. Jangan sampai perkara TPPU ini mandek di tangan penyidiknya sendiri,” katanya.
Penelusuran Aset Dinilai Tak Menyeluruh
Tri Ariadi Rahmat menilai lambannya pemenuhan petunjuk jaksa menunjukkan penyidikan belum berjalan optimal. Ia menyebut perkara TPPU seharusnya lebih mudah dipetakan karena tindak pidana asal berupa penipuan telah berkekuatan hukum tetap sejak 2023.
Tri menekankan penyidik perlu memperluas penelusuran aset, terutama pada data perbankan, e-wallet, dan transaksi digital. Menurutnya, penyidik perlu meminta mutasi rekening, laporan transaksi tunai, dan akses data rekening terkait.
Ia juga mendesak pelacakan aset digital (kripto) secara menyeluruh. “Analisis on-chain diperlukan untuk melihat aset yang masih tersimpan maupun yang sudah dicairkan,” ujar Tri.
Dia menyebut penyitaan dompet kripto, perangkat elektronik, serta permintaan data KYC ke bursa kripto penting untuk memastikan tidak ada aset yang terlewat sebelum dibuatkan bagan aliran dana sebagai penutup penyidikan.
Permohonan Audiensi ke Kapolda Sulsel
Tri juga telah mengajukan permohonan audiensi kepada Kapolda Sulsel melalui surat bertanggal 26 November 2025. Mereka mempertanyakan lambannya pemenuhan 17 syarat materiil dan 11 syarat formil yang diminta Kejaksaan.
“Sudah empat tahun perkara ini berjalan tanpa kepastian,” kata Tri.
Tim kuasa hukum menilai tidak adanya koordinasi setelah tenggat 14 hari pemenuhan P-19 menjadi masalah baru, sehingga meminta Kapolda Sulsel turun langsung memastikan petunjuk Jaksa dipenuhi.
Latar Belakang Kasus
Perkara ini berawal dari investasi aset kripto pada 2021. Pengadilan Negeri Makassar kemudian memvonis Sulfikar dan Hamsul HS bersalah dalam perkara penipuan, dan putusan itu telah berkekuatan hukum tetap pada 2023.
Penyidikan TPPU dibuka setelahnya, dan keduanya kembali ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan, Hamsul memenangkan praperadilan dan status tersangkanya gugur, sementara berkas Sulfikar tetap dilengkapi.
Hingga pertengahan November 2025, Kejati Sulsel menegaskan berkas belum lengkap. Dengan dikembalikannya SPDP, proses penyidikan kini berada pada titik penting yang menentukan apakah perkara ini dilanjutkan atau harus dibuka ulang oleh penyidik.
- Penulis: Sorotan Rakyat

Saat ini belum ada komentar